Di Markas Tertinggi Tentara Keamanan Rakyat (TKR) di Gondokusuman, Yogyakarta, Presiden Sukarno melantik Soedirman sebagai Panglima Besar.
Pada 18 Desember 1945 itu, pangkat jenderal juga diberikan kepada pria ceking jebolan Pembela Tanah Air (PETA) tersebut.
Sekitar sebulan sebelumnya, 12 November, para komandan militer berkumpul. Juga di tempat yang sama. Mereka mau menetapkan siapa yang menempati posisi tertinggi di antara mereka, posisi 'Panglima Besar.'
Dilakukanlah pemungutan suara. Ada beberapa kandidat, di antaranya Oerip Soemohardjo, Amir Sjarifoeddin, dan Soedirman. Soedirman meraih suara terbanyak dan ditetapkan sebagai Panglima Besar. Oerip meraih suara terbanyak kedua dan diminta tetap menjadi Kepala Staf Umum.
Sebentar. Oerip tetap menjadi Kepala Staf Umum? O, iya, Bung Karno telah mendapuknya di posisi itu pada 5 Oktober 1945--hari kelahiran TKR dan kini diperingati sebagai HUT TNI.
Pada hari yang sama, Bung Karno juga menunjuk seorang Panglima Besar. Bukan Soedirman, melainkan Soeprijadi, seorang eks komandan peleton atau shodanco di PETA.
Penunjukan ini lumayan mengherankan. Sebab, Soeprijadi tak terlihat lagi sejak pemberontakan PETA terhadap Jepang di Blitar, Februari 1945, yang dipimpinnya.
Kontroversi merebak soal keberadaan pria kelahiran Trenggalek, Jawa Timur, 13 April 1923, itu.
"Ada yang mengatakan bahwa Soeprijadi telah dibunuh Jepang tetapi lebih banyak lagi yang percaya bahwa dia masih hidup dan bahwa dia pasti akan muncul apabila telah tiba waktunya," tulis mendiang Mayor Jenderal (Purn.) TB Simatupang dalam memoarnya, Laporan dari Banaran.
Melihat Romusha, Hati Tersentuh
Ketika Jepang membentuk PETA, Soeprijadi bergabung. Dengan menjadi anggota PETA, hidup dia sebenarnya terjamin.
Namun, saat melihat penderitaan para romusha, ia tersentuh. Lalu, memutuskan untuk menghimpun kekuatan melawan Jepang. Dengan lekas, pemberontakan itu ditumpas. Jepang masih terlampau kuat, para pemberontak kalah dalam segala hal.
Nama Soeprijadi kadung menjadi legenda. Ia ditunggu. Sebuah ruangan di Markas Tertinggi TKR diplot untuk kamar kerjanya.
"...walaupun segera terasa kekurangan ruangan untuk berbagai-bagai staf dan kantor dari Markas Tertinggi namun kamar itu tidak pernah dipakai, sampai Pak Dirman diangkat menjadi Panglima Besar," lanjut Simatupang.
Soeprijadi tak pernah muncul. Sampai hari ini. (Yus)
Pada 18 Desember 1945 itu, pangkat jenderal juga diberikan kepada pria ceking jebolan Pembela Tanah Air (PETA) tersebut.
Sekitar sebulan sebelumnya, 12 November, para komandan militer berkumpul. Juga di tempat yang sama. Mereka mau menetapkan siapa yang menempati posisi tertinggi di antara mereka, posisi 'Panglima Besar.'
Dilakukanlah pemungutan suara. Ada beberapa kandidat, di antaranya Oerip Soemohardjo, Amir Sjarifoeddin, dan Soedirman. Soedirman meraih suara terbanyak dan ditetapkan sebagai Panglima Besar. Oerip meraih suara terbanyak kedua dan diminta tetap menjadi Kepala Staf Umum.
Sebentar. Oerip tetap menjadi Kepala Staf Umum? O, iya, Bung Karno telah mendapuknya di posisi itu pada 5 Oktober 1945--hari kelahiran TKR dan kini diperingati sebagai HUT TNI.
Pada hari yang sama, Bung Karno juga menunjuk seorang Panglima Besar. Bukan Soedirman, melainkan Soeprijadi, seorang eks komandan peleton atau shodanco di PETA.
Penunjukan ini lumayan mengherankan. Sebab, Soeprijadi tak terlihat lagi sejak pemberontakan PETA terhadap Jepang di Blitar, Februari 1945, yang dipimpinnya.
Kontroversi merebak soal keberadaan pria kelahiran Trenggalek, Jawa Timur, 13 April 1923, itu.
"Ada yang mengatakan bahwa Soeprijadi telah dibunuh Jepang tetapi lebih banyak lagi yang percaya bahwa dia masih hidup dan bahwa dia pasti akan muncul apabila telah tiba waktunya," tulis mendiang Mayor Jenderal (Purn.) TB Simatupang dalam memoarnya, Laporan dari Banaran.
Melihat Romusha, Hati Tersentuh
Ketika Jepang membentuk PETA, Soeprijadi bergabung. Dengan menjadi anggota PETA, hidup dia sebenarnya terjamin.
Namun, saat melihat penderitaan para romusha, ia tersentuh. Lalu, memutuskan untuk menghimpun kekuatan melawan Jepang. Dengan lekas, pemberontakan itu ditumpas. Jepang masih terlampau kuat, para pemberontak kalah dalam segala hal.
Nama Soeprijadi kadung menjadi legenda. Ia ditunggu. Sebuah ruangan di Markas Tertinggi TKR diplot untuk kamar kerjanya.
"...walaupun segera terasa kekurangan ruangan untuk berbagai-bagai staf dan kantor dari Markas Tertinggi namun kamar itu tidak pernah dipakai, sampai Pak Dirman diangkat menjadi Panglima Besar," lanjut Simatupang.
Soeprijadi tak pernah muncul. Sampai hari ini. (Yus)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar