Jumat, 06 September 2013

"Tendangan" Gulai Itiak Lado Mudo Ngarai Sianok

Bagaimanakah rasa gulai bebek muda yang direndam dalam kuah penuh cabai hijau? Huh…! Rasa gurih-pedasnya sulit terlupakan. Sensasi yang agak ekstrem itu menyergap lidah saat kami menyantap bebek muda cabai hijau. Itulah menu andalan Rumah Makan Gulai Itiak Lado Mudo di Ngarai Sianok, Bukittinggi, Sumatera Barat. Lokasi warung bersahaja tersebut berada di Jalan Ngarai-Binuang, persis di bawah ngarai yang indah itu.
Saat kami berkunjung, awal Mei lalu, ada sejumlah tamu sedang makan. Sambil mengunyah daging bebek yang empuk, tubuh mereka berkeringat karena kepedasan.
”Pedasnya tajam. Tapi, enak karena bercampur gurih,” kata Faisal, seorang pengunjung dari Jakarta, seraya menyeka keringat di dahinya.

Sambil terus berdecap-decap, mulut pemuda itu juga mendesis-desis terkena ”tendangan” cabai hijau. Tapi, dia malah menyendok nasi lagi. ”Kalau sudah mulai makan, seperti sulit berhenti,” katanya.
Gulai itiak lado mudo adalah gulai daging bebek muda yang dilumuri cacahan cabai hijau. Saking banyaknya porsi cabai, seolah daging bebek muda itu ”berendam” dalam cabai.
”Ini tradisi masakan Koto Gadang, Kabupaten Agam. Tapi, kami buat lebih pedas lagi dan tidak pakai santan,” kata Nur’aini (66), pemilik warung.
Pengembangan itu tak main-main. Bayangkan saja, setiap satu ekor bebek dimasak bersama sekitar 0,5 kilogram (5 ons) cabai hijau kering. Jika setiap satu ekor bebek dipotong jadi empat porsi, setiap satu potongnya dimasak bersama 1,25 ons cabai. ”Biar rasanya beda dengan masakan bebek lain. Ini juga cocok untuk menghangatkan badan di Bukittinggi yang udaranya dingin,” kata Nur’aini.
Kata Nur’aini, pedas cabai itu hanya sebatas memanaskan bibir saja. Itu berbeda dengan pedas dari merica yang bisa bikin panas kerongkongan. Untuk meredam pedas, gulai bebek itu disajikan bersama potongan mentimun dan cacahan bawang merah. Setelah mengunyah mentimun dan bawang, pedasnya memang agak berkurang.
Bebek muda
Nur’aini bercerita, gulai yang enak berawal dari ketepatan memilih bebek muda. Dia selalu memilih bebek berumur sekitar enam bulan yang dagingnya masih empuk. Bebek dipotong, direndam air panas, kemudian bulu-bulunya dicabuti. Isi perutnya juga dikeluarkan. Untuk menghilangkan sisa bulu, bebek itu dibakar. Bebek yang telah bersih dipotong-potong. Satu ekor bebek bisa dipotong menjadi empat bagian.
Saat bersamaan, disiapkan juga racikan bumbu yang telah dihaluskan: bawang merah, bawang putih, kunyit, dan lengkuas. Tentu saja, ditambah cabai hijau kering dengan takaran setiap satu ekor bebek diberi 0,5 kg cabai.
Daging bebek tadi digodok bersama bumbu dan cabai. Gulai ini tidak menggunakan santan agar rasa daging lebih segar. Daging bebek tadi digodok selama satu hari satu malam atau 48 jam penuh. ”Itu biar pedas cabai meresap sampai dalam serat daging. Daging juga lebih empuk dan tidak amis lagi,” katanya.
Sepotong daging bebek dijual Rp 20.000, sedangkan satu porsi bebek utuh berharga Rp 90.000. Setiap hari warung itu rata-rata menghabiskan sekitar 40 ekor bebek dan 20 kilogram cabai. Pada masa liburan, 75 sampai 100 ekor bebek dan 50 kilogram cabai ludes setiap harinya. Manstab!
Warung Gulai Itiak Lado Mudo di Ngarai Sianok, Bukittinggi, Sumatera Barat, berawal dari sebuah pondok bambu yang didirikan pasangan Nur’aini dan Anwar. Saat pertama dibuka tahun 1968, jualannya hanya pecel lontong. ”Kami mulai dari nol. Ngarai Sianok tahun 1960-an masih sepi, belum ada banyak warung,” kata Nur’aini (66).
Suatu ketika di era 1980-an, para pelanggan meminta Nur’aini untuk menjual nasi dengan lauk-pauknya. Perempuan itu pun berpikir tentang menu yang belum banyak ditawarkan di daerah tersebut. Dia teringat pada tradisi di kampung halamannya di Koto Gadang, Kabupaten Agam. Setiap hajatan besar, masyarakat di sana biasa memasak gulai bebek dengan cabai hijau yang banyak.
”Kami coba buat gulai bebek tradisional khas Koto Gadang, tetapi dengan sedikit perubahan. Agar pedasnya lebih tajam, cabainya diperbanyak,” katanya.
Menu baru itu tak hanya dijajakan di warung, tetapi juga ditawarkan langsung kepada pelanggan. Suaminya, Anwar (78), sering menjajakannya dari pintu ke pintu. Pada hari Minggu, beberapa anaknya juga ikut membantu mengantar ke rumah-rumah. ”Promosinya dari mulut ke mulut,” kata Ikhlas (36), anak Nur’aini.
Ternyata, menu gulai itiak itu berkenan di lidah pelanggan. Tahun 1990-an, pelanggannya kian bertambah. Gulai bebek pedas itu mulai digemari karena jarang ditemukan di tempat lain. Tahun 2000-an, warung itu makin dikenal, terutama setelah kisahnya muncul pada acara kuliner di layar televisi.
Kini, warung itu dikelola dengan manajemen lebih modern oleh anak perempuan Nur’aini, Warnita (34). Namun, menu dan resep pembuatan gulai bebek cabai hijau tetap mempertahankan racikan hasil utak-atik Nur’aini sejak tahun 1980-an. ”Kami meneruskan apa yang dirintis ibu,” kata Warnita.

http://www.pelaminanminang.com/dapur-minang/gulai-itik-itiak-lado-mudo-di-ngarai-sianok.html

Tidak ada komentar:

Posting Komentar