Ada seorang pemuda gagah yang turut berjihad bersama pasukan Islam.
Selama perjalanan, pemuda itu tetap berpuasa di siang hari dan tak lepas
dari sholat di malam hari. Bahkan dia juga melayani kebutuhan pasukan
dan ikut berjaga-jaga bila semua tidur. Hingga sampailah pasukan itu
sampai di perbatasan Romawi.
Menjelang pertempuran, pasukan Islam beristirahat di suatu tempat. Karena lelah pemuda itu jatuh tertidur. Namun tiba-tiba ia terjaga dan berseru lirih, “Ah, alangkah rindunya aku pada Ainul Mardhiyah”. Orang-orang yang mendengarnya terheran-heran dan mengira pemuda itu mengingau. “Siapakah Ainul Mardhiyah itu ?” tanya Abdul Wahid, seorang ulama pejuang, yang mengenal pemuda itu.
Pemuda itu kemudian bertutur : Saya tertidur dan bermimpi bertemu seseorang. Orang itu berkata,“Pergilah kepada Ainul Mardhiyah”. Lalu saya dibawa kesebuah taman yang dikelilingi sungai. Di tepi sunga itu banyak gadis-gadis yang lengkap perhiasannya. Dan ketika melihatku, tiba-tiba mereka berkata, “Itulah suami Ainul Mardhiyah”.
Saya memberi salam dan bertanya, “Adakah di antara kalian bernama Ainul Mardhiyah ?”. “Kami hanya pelayan-pelayannya. Kalau Tuan ingin bertemu, silakan jalan terus menyusuri sungai ini”. Akhirnya aku menyusuri sungai. Ternyata itu adalah sungai susu yang tidak berubah rasa dan warnanya. Hingga sampailah aku di tempat yang banyak berkerumun gadis-gadis cantik dan lengkap perhiasannya. “Inilah suami Ainul Mardhiyah”, kata gadis-gadis itu berbisik-bisik.
Tapi ketika aku bertanya yang mana Ainul Mardhiyah, aku mendapat jawaban yang sama. Kali ini yang kutelusuri adalah sungai madu sampai ketemui lagi kerumunan gadis-gadis. Mereka ternyata lebih cantik hingga dapat melupakan kecantikan gadis-gadis sebelumnya. Lalu aku ditunjukkan sebuah kemah yang tersusun dari permata yang indah. Aku pun segera ke sana.
Sungguh aku terkagum-kagum menyaksikan kecantikan gadis yang ada di kemah itu. Aku menyangka inilah Ainul Mardhiyah. Aku merasa sudah cukup puas bila gadis itu yang menjadi pendampingku. Tapi lagi-lagi dugaanku salah. Gadis itu malah memanggil seseorang yang ada di dalam kamar, “Hai Ainul Mardhiyah, inilah suamimu telah datang”.
Bergegas aku masuk ke kamar itu. Kulihat seorang gadis sedang duduk di atas tempat tidur emas, yang bertaburkan permata, berlian, dan yaqut. Aku hampir-hampir tidak dapat menahan diri. “Marhaban wahai kekasihku, sudah hampir tiba kedatanganmu”, kata gadis itu dengan senyum paling manis dan keteduhan matanya yang belum pernah kulihat. Sungguh, ingin sekali aku memeluknya. “Sabar dulu, engkau belum sah menjadi suamiku. Sebab engkau masih hidup”, kata Ainul Mardhiyah. “Tetapi insya Allah, engkau akan berbuka di sini”.
Usai menceritakan mimpinya, pemuda itu berlari menyongsong musuh. Sembilan orang tentara Romawi di ujung pedangnya. Pada hitungan kesepuluh, dia tersenyum sepenuh bibirnya ketika syahid menjemputnya. Rindu itu pun tertebus.
(Oase majalah sabili no.15,10/02/1999
Menjelang pertempuran, pasukan Islam beristirahat di suatu tempat. Karena lelah pemuda itu jatuh tertidur. Namun tiba-tiba ia terjaga dan berseru lirih, “Ah, alangkah rindunya aku pada Ainul Mardhiyah”. Orang-orang yang mendengarnya terheran-heran dan mengira pemuda itu mengingau. “Siapakah Ainul Mardhiyah itu ?” tanya Abdul Wahid, seorang ulama pejuang, yang mengenal pemuda itu.
Pemuda itu kemudian bertutur : Saya tertidur dan bermimpi bertemu seseorang. Orang itu berkata,“Pergilah kepada Ainul Mardhiyah”. Lalu saya dibawa kesebuah taman yang dikelilingi sungai. Di tepi sunga itu banyak gadis-gadis yang lengkap perhiasannya. Dan ketika melihatku, tiba-tiba mereka berkata, “Itulah suami Ainul Mardhiyah”.
Saya memberi salam dan bertanya, “Adakah di antara kalian bernama Ainul Mardhiyah ?”. “Kami hanya pelayan-pelayannya. Kalau Tuan ingin bertemu, silakan jalan terus menyusuri sungai ini”. Akhirnya aku menyusuri sungai. Ternyata itu adalah sungai susu yang tidak berubah rasa dan warnanya. Hingga sampailah aku di tempat yang banyak berkerumun gadis-gadis cantik dan lengkap perhiasannya. “Inilah suami Ainul Mardhiyah”, kata gadis-gadis itu berbisik-bisik.
Tapi ketika aku bertanya yang mana Ainul Mardhiyah, aku mendapat jawaban yang sama. Kali ini yang kutelusuri adalah sungai madu sampai ketemui lagi kerumunan gadis-gadis. Mereka ternyata lebih cantik hingga dapat melupakan kecantikan gadis-gadis sebelumnya. Lalu aku ditunjukkan sebuah kemah yang tersusun dari permata yang indah. Aku pun segera ke sana.
Sungguh aku terkagum-kagum menyaksikan kecantikan gadis yang ada di kemah itu. Aku menyangka inilah Ainul Mardhiyah. Aku merasa sudah cukup puas bila gadis itu yang menjadi pendampingku. Tapi lagi-lagi dugaanku salah. Gadis itu malah memanggil seseorang yang ada di dalam kamar, “Hai Ainul Mardhiyah, inilah suamimu telah datang”.
Bergegas aku masuk ke kamar itu. Kulihat seorang gadis sedang duduk di atas tempat tidur emas, yang bertaburkan permata, berlian, dan yaqut. Aku hampir-hampir tidak dapat menahan diri. “Marhaban wahai kekasihku, sudah hampir tiba kedatanganmu”, kata gadis itu dengan senyum paling manis dan keteduhan matanya yang belum pernah kulihat. Sungguh, ingin sekali aku memeluknya. “Sabar dulu, engkau belum sah menjadi suamiku. Sebab engkau masih hidup”, kata Ainul Mardhiyah. “Tetapi insya Allah, engkau akan berbuka di sini”.
Usai menceritakan mimpinya, pemuda itu berlari menyongsong musuh. Sembilan orang tentara Romawi di ujung pedangnya. Pada hitungan kesepuluh, dia tersenyum sepenuh bibirnya ketika syahid menjemputnya. Rindu itu pun tertebus.
(Oase majalah sabili no.15,10/02/1999
Tidak ada komentar:
Posting Komentar