Bertanyalah kita. Sejenak saja kepada diri sendiri. Tentang sebuah
lambang keberartian dan makna hidup yang sangat mendalam, yaitu
kelayakan untuk dicintai. Maka.. layakkah kita dicintai?
Ya.. layak dicintai adalah lambang sebuah keberartian. Sebab cinta tak dipersembahkan untuk jiwa yang hampa. Tidak juga untuk karya-karya yang tak bermakna. Hanya bila kita berguna, maka kita layak dicintai. Hidup tak akan memberi ruang untuk orang-orang yang hanya bisa merusak dan tak pernah bisa membangun, yang hanya pandai mengkhianati, menyakiti, dan tak pernah berdaya untuk merajut kembali, yang hatinya dingin membeku dan tak pernah mampu mengilhami. Hanya bila kita berarti, maka kita layak dicintai.
Kelayakan dicintai adalah definisi dari sebuah kapasitas diri. Kapasitas yang diukur dari sejauh mana kita memiliki harga. Dalam wujud amal dan peran-peran yang nyata adanya. Bukan hanya sekadar status apalagi cuma hiasan performa dan polesan kepalsuan.
Nilai umum dari orang yang layak dicintai, adalah manfaat dirinya bagi kehidupan, bagi sesama, dan bagi kelangsungan hidup diri dan orang lain. Ini tidak saja pesan bagi orang-orang yang sedang memburu cinta, para pemimpin yang mengais-ngais cinta rakyatnya, presiden yang merayu-rayu cinta pemilihnya. Tapi juga untuk siapa saja yang ingin mendapat kelayakan untuk dicintai.
Layakkah kita dicintai adalah pesan sosial yang menegaskan bahwa keberadaan kita di kehidupan ini, di rumah, di tempat bekerja, di masyarakat, di tempat belajar, atau di mana saja kita berada, harusnya mencerminkan kehidupan yang menjawab pertanyaan tersebut. Siapa yang tidak berguna, tidak memberi manfaat bagi kehidupan ini sesungguhnya memang tidak layak untuk mendapatkan cinta dari siapapun.
Bila daya manfaat dan keberartian merupakan labuhan cinta, maka sumber dan mata air keberartian itu ada pada kekuatan kejujuran, dalam pengertiannya yang sangat luas. Sebabnya adalah, kejujuran itu yang akan memberi kita kekuatan untuk selalu meniti jalan hidup ini sesuai arah dan alurnya. Sebab di sanalah kekuatan untuk memberi manfaat itu menemukan mata airnya. Pada wilayah kebersamaan dengan orang lain, kejujuran adalah jaminan terpenuhinya hak orang lain dari diri kita, dalam bentuk apa pun itu.
Maka seorang pemimpin yang jujur dan kepemimpinannya memberi manfaat bagi rakyatnya, pasti dicintai oleh rakyatnya. Seorang pegawai yang jujur dan berdaya manfaat akan dicintai oleh orang-orang yang diurusnya. Seorang menteri yang jujur dan berguna akan dicintai oleh masyarakatnya. Seorang pengusaha yang jujur dan berbagi manfaat akan dicintai oleh sesama. Begitu seterusnya. Seperti dijelaskan Rasulullah, "Sebaik-baik pemimpin kalian, adalah yang kalian cintai dan merekapun mencintai kalian. Yang kalian doakan, dan mereka pun mendoakan kalian."
Pada setiap jengkal wilayah sosial kita, selalu ada tempat untuk bertanya tentang itu: "Layakkah kita dicintai?" Seperti bila kita seorang suami. Ada banyak karunia pada status itu. Tapi bukan karena status itu semata kita layak dicintai. Tapi pada apa yang kita ciptakan dengan status itu, pada kejujuran status suami kita. Ketulusan untuk berkorban, berupa manfaat untuk orang-orang yang ada di rumah kita sendiri yaitu anak-anak kita, istri, atau keluarga lainnya.
Sebuah tragedi tentang seorang Pangeran Inggris, misalnya, adalah sekelumit kisah tentang rumitnya cinta berlabuh pada tempat yang tidak layak. Sang pangeran adalah pewaris tahta kerajaan. Mendiang istrinya pun cantik jelita. Tapi nyaris tak ada kejujuran di sana. Maka tak ada cinta di sana. Kejujuran yang hilang telah mengubah pencarian cinta menjadi hanya setumpuk petualangan selera dan hawa nafsu.
Sebaliknya lihatlah anak-anak kecil di sekitar kita. Begitu polos, lugu, dan tak berdosanya mereka. Kejujuran anak-anak itu benar-benar sempurna. Maka anak-anak selalu layak dicintai dengan sepenuh hati. Kenyataannya memang begitu bukan? Ada sebagian orang tua bahkan rela berkorban apa saja demi buah hati mereka. Sebab anak-anak itu selalu memancarkan ketulusan. Tak ada dusta, tak ada khianat, apalagi dengki. Anak-anak adalah kejujuran itu sendiri. Itulah mengapa Al-Qur’an menamakan mereka dengan "qurrata a’yun", yang indah dipandang mata. Sebab sejujurnya di sana ada ketulusan yang tak berbicara dengan kata-kata. Di sana ada kejernihan yang memantulkan cahaya.
Tetapi karunia iman memberi kekuatan lain pada makna kelayakan itu. Di sini keberartian menjadi sesuatu yang sempurna. Beriman, berdayaguna, taat, dan kemudian memberi manfaat untuk kehidupan sesama. Maka sebaik-baik orang mukmin adalah yang paling banyak memberi manfaat bagi orang lain. Tak ada yang bisa melakukan sesuatu yang sangat istimewa, melebihi apa yang bisa dilakukan oleh kekuatan iman.
Karenanya kelayakan dicintai adalah kemampuan seorang manusia untuk bisa mengerti apa yang seharusnya dilakukan sebagai seorang hamba yang diciptakan Allah di muka bumi ini. Yang kelak akan mati, lalu dimintai pertanggungjawabannya. Maka ia akan memburu cintaNya, agar layak untuk dicintai. Pada perburuan cinta itu lantas berhamburan amal-amal dan kebaikannya untuk orang-orang yang ada di sekelilingnya. Maka profesi dan status tak kuasa membendung aliran kebaikan-kebaikan itu. Sebab profesi dan status itu hanya lorong-lorong tempat orang-orang yang layak dicintai itu untuk mengalirkan arus kebaikannya.
Bertanyalah kita sejenak saja. Tentang hiruk pikuk pergulatan hidup yang kita jalani saat ini. Tentang rumah tangga yang bertahun-tahun kita arungi atau yang akan kita masuki. Di sela lelah dan godaan kebosanan yang merasuki batin. Ataupun tentang kerja-kerja duniawi yang menguras akal budi. Disela oleh mimpi dan keinginan memiliki tumpukan rezeki. Disisipkan kemalasan dan lambaian jalan menyimpang yang merayu. Adakah sernua itu mengantarkan kita menjadi orang yang layak dicintai?
Ya.. layak dicintai adalah lambang sebuah keberartian. Sebab cinta tak dipersembahkan untuk jiwa yang hampa. Tidak juga untuk karya-karya yang tak bermakna. Hanya bila kita berguna, maka kita layak dicintai. Hidup tak akan memberi ruang untuk orang-orang yang hanya bisa merusak dan tak pernah bisa membangun, yang hanya pandai mengkhianati, menyakiti, dan tak pernah berdaya untuk merajut kembali, yang hatinya dingin membeku dan tak pernah mampu mengilhami. Hanya bila kita berarti, maka kita layak dicintai.
Kelayakan dicintai adalah definisi dari sebuah kapasitas diri. Kapasitas yang diukur dari sejauh mana kita memiliki harga. Dalam wujud amal dan peran-peran yang nyata adanya. Bukan hanya sekadar status apalagi cuma hiasan performa dan polesan kepalsuan.
Nilai umum dari orang yang layak dicintai, adalah manfaat dirinya bagi kehidupan, bagi sesama, dan bagi kelangsungan hidup diri dan orang lain. Ini tidak saja pesan bagi orang-orang yang sedang memburu cinta, para pemimpin yang mengais-ngais cinta rakyatnya, presiden yang merayu-rayu cinta pemilihnya. Tapi juga untuk siapa saja yang ingin mendapat kelayakan untuk dicintai.
Layakkah kita dicintai adalah pesan sosial yang menegaskan bahwa keberadaan kita di kehidupan ini, di rumah, di tempat bekerja, di masyarakat, di tempat belajar, atau di mana saja kita berada, harusnya mencerminkan kehidupan yang menjawab pertanyaan tersebut. Siapa yang tidak berguna, tidak memberi manfaat bagi kehidupan ini sesungguhnya memang tidak layak untuk mendapatkan cinta dari siapapun.
Bila daya manfaat dan keberartian merupakan labuhan cinta, maka sumber dan mata air keberartian itu ada pada kekuatan kejujuran, dalam pengertiannya yang sangat luas. Sebabnya adalah, kejujuran itu yang akan memberi kita kekuatan untuk selalu meniti jalan hidup ini sesuai arah dan alurnya. Sebab di sanalah kekuatan untuk memberi manfaat itu menemukan mata airnya. Pada wilayah kebersamaan dengan orang lain, kejujuran adalah jaminan terpenuhinya hak orang lain dari diri kita, dalam bentuk apa pun itu.
Maka seorang pemimpin yang jujur dan kepemimpinannya memberi manfaat bagi rakyatnya, pasti dicintai oleh rakyatnya. Seorang pegawai yang jujur dan berdaya manfaat akan dicintai oleh orang-orang yang diurusnya. Seorang menteri yang jujur dan berguna akan dicintai oleh masyarakatnya. Seorang pengusaha yang jujur dan berbagi manfaat akan dicintai oleh sesama. Begitu seterusnya. Seperti dijelaskan Rasulullah, "Sebaik-baik pemimpin kalian, adalah yang kalian cintai dan merekapun mencintai kalian. Yang kalian doakan, dan mereka pun mendoakan kalian."
Pada setiap jengkal wilayah sosial kita, selalu ada tempat untuk bertanya tentang itu: "Layakkah kita dicintai?" Seperti bila kita seorang suami. Ada banyak karunia pada status itu. Tapi bukan karena status itu semata kita layak dicintai. Tapi pada apa yang kita ciptakan dengan status itu, pada kejujuran status suami kita. Ketulusan untuk berkorban, berupa manfaat untuk orang-orang yang ada di rumah kita sendiri yaitu anak-anak kita, istri, atau keluarga lainnya.
Sebuah tragedi tentang seorang Pangeran Inggris, misalnya, adalah sekelumit kisah tentang rumitnya cinta berlabuh pada tempat yang tidak layak. Sang pangeran adalah pewaris tahta kerajaan. Mendiang istrinya pun cantik jelita. Tapi nyaris tak ada kejujuran di sana. Maka tak ada cinta di sana. Kejujuran yang hilang telah mengubah pencarian cinta menjadi hanya setumpuk petualangan selera dan hawa nafsu.
Sebaliknya lihatlah anak-anak kecil di sekitar kita. Begitu polos, lugu, dan tak berdosanya mereka. Kejujuran anak-anak itu benar-benar sempurna. Maka anak-anak selalu layak dicintai dengan sepenuh hati. Kenyataannya memang begitu bukan? Ada sebagian orang tua bahkan rela berkorban apa saja demi buah hati mereka. Sebab anak-anak itu selalu memancarkan ketulusan. Tak ada dusta, tak ada khianat, apalagi dengki. Anak-anak adalah kejujuran itu sendiri. Itulah mengapa Al-Qur’an menamakan mereka dengan "qurrata a’yun", yang indah dipandang mata. Sebab sejujurnya di sana ada ketulusan yang tak berbicara dengan kata-kata. Di sana ada kejernihan yang memantulkan cahaya.
Tetapi karunia iman memberi kekuatan lain pada makna kelayakan itu. Di sini keberartian menjadi sesuatu yang sempurna. Beriman, berdayaguna, taat, dan kemudian memberi manfaat untuk kehidupan sesama. Maka sebaik-baik orang mukmin adalah yang paling banyak memberi manfaat bagi orang lain. Tak ada yang bisa melakukan sesuatu yang sangat istimewa, melebihi apa yang bisa dilakukan oleh kekuatan iman.
Karenanya kelayakan dicintai adalah kemampuan seorang manusia untuk bisa mengerti apa yang seharusnya dilakukan sebagai seorang hamba yang diciptakan Allah di muka bumi ini. Yang kelak akan mati, lalu dimintai pertanggungjawabannya. Maka ia akan memburu cintaNya, agar layak untuk dicintai. Pada perburuan cinta itu lantas berhamburan amal-amal dan kebaikannya untuk orang-orang yang ada di sekelilingnya. Maka profesi dan status tak kuasa membendung aliran kebaikan-kebaikan itu. Sebab profesi dan status itu hanya lorong-lorong tempat orang-orang yang layak dicintai itu untuk mengalirkan arus kebaikannya.
Bertanyalah kita sejenak saja. Tentang hiruk pikuk pergulatan hidup yang kita jalani saat ini. Tentang rumah tangga yang bertahun-tahun kita arungi atau yang akan kita masuki. Di sela lelah dan godaan kebosanan yang merasuki batin. Ataupun tentang kerja-kerja duniawi yang menguras akal budi. Disela oleh mimpi dan keinginan memiliki tumpukan rezeki. Disisipkan kemalasan dan lambaian jalan menyimpang yang merayu. Adakah sernua itu mengantarkan kita menjadi orang yang layak dicintai?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar