Batak memakan daging manusia, adalah fakta historis di masa lalu. Kini, setelah batak menyerap agama Kristen, kanibalisme pun perlahan ditinggalkan.
Memakan daging manusia oleh manusia diistilahkan dengan kanibalisme. Kanibalisme banyak terjadi di beberapa peradaban manusia. Pada masa lalu di kepulauan Pasifik seperti Fiji, kanibalisme sering dilakukan penduduk setempat. Menurut novel sastrawan, China pernah mengalami kelaparan hebat
setelah perang yang berkepanjangan di masa Mao Tze Tung dan ketika itu hampir tidak ada yang bisa dimakan selain daging manusia. Sang ayah mewasiatkan, jika kelak dirinya mati lebih dahulu, maka anak isteri yang ditinngal boleh memakan dagingnya. Kanibalisme juga dialami Afrika, terjadi karena kekurangan makanan. Dalam perang sipil di Maluku, perilaku sadisme memakan daging musuh juga terjadi. Bahkan Sumanto memakan daging manusia untuk menambah kesaktiannya. Dalam pandangan inilah, kanibalisme memang benar-benar historis dalam budaya manusia.
Beda dengan Batak di masa lalu, memakan daging manusia dilakukan dalam ritual kepercayaan setempat. Tidak setiap orang boleh dijadikan gulai untuk dimakan. Yang sering dijadikan santapan adalah musuh, tawanan perang, orang yang berzina dan penjahat, orang tua yang sudah tidak berdaya (tidak bisa nyari nafkah). Memakan bagian tubuh tertentu dari lawan yang sakti saat itu dianggap akan menambah kesaktian yang memakannya. Seorang datu mengalahkan datu sakti yang lain akan lebih sakti jika ia memakan bagian tubuh penting seperti: tangan, hati, dan otaknya.
Tiga hal yang sangat penting dalam kepercayaan batak masa lalu: Tondi, Sahala, dan Begu. Semua orang memiliki Tondi dan begu, tapi hanya orang sakti yang mempunyai Sahala. Memakan daging musuh yang sakti dianggap menambah Sahala datu yang memakannya.
Ritual kanibalisme telah terdokumentasi dengan baik di kalangan orang Batak, yang bertujuan untuk memperkuat tondi pemakan itu. Secara khusus, darah, jantung, telapak tangan, dan telapak kaki dianggap sebagai kaya tondi.
Dalam memoir Marco Polo yang tinggal di pantai timur Sumatera dari bulan April sampai September 1292, ia menyebutkan pernah berjumpa dengan rakyat bukit yang ia sebut sebagai "pemakan manusia". Dari sumber-sumber sekunder, Marco Polo mencatat cerita tentang ritual kanibalisme di antara masyarakat "Battas". Walau Marco Polo hanya tinggal di wilayah pesisir, dan tidak pernah pergi langsung ke pedalaman untuk memverifikasi cerita tersebut, namun dia bisa menceritakan ritual tersebut.
Niccolò de 'Conti (1395-1469), seorang Venesia yang menghabiskan sebagian besar tahun 1421 di Sumatra, dalam perjalanan panjangnya untuk misi perdagangan di Asia Tenggara (1414-1439), mencatat kehidupan masyarakat. Dia menulis sebuah deskripsi singkat tentang penduduk Batak: "Dalam bagian pulau, disebut Batech kanibal hidup berperang terus-menerus kepada tetangga mereka ".
Thomas Stamford Raffles pada 1820 mempelajari Batak dan ritual mereka, serta undang-undang mengenai konsumsi daging manusia, menulis secara detail tentang pelanggaran yang dibenarkan. Raffles menyatakan bahwa: "Suatu hal yang biasa dimana orang-orang memakan orang tua mereka ketika terlalu tua untuk bekerja, dan untuk kejahatan tertentu penjahat akan dimakan hidup-hidup".. "daging dimakan mentah atau dipanggang, dengan kapur, garam dan sedikit nasi".
Para dokter Jerman dan ahli geografi Franz Wilhelm Junghuhn, mengunjungi tanah Batak pada tahun 1840-1841. Junghuhn mengatakan tentang ritual kanibalisme di antara orang Batak (yang ia sebut "Battaer"). Junghuhn menceritakan bagaimana setelah penerbangan berbahaya dan lapar, ia tiba di sebuah desa yang ramah. Makanan yang ditawarkan oleh tuan rumahnya adalah daging dari dua tahanan yang telah disembelih sehari sebelumnya. Namun hal ini terkadang untuk menakut-nakuti calon penjajah dan sesekali untuk mendapatkan pekerjaan sebagai tentara bayaran bagi suku-suku pesisir yang diganggu oleh bajak laut.
Oscar von Kessel mengunjungi Silindung di tahun 1840-an, dan pada tahun 1844 mungkin orang Eropa pertama yang mengamati ritual kanibalisme Batak di mana suatu pezina dihukum dan dimakan hidup. Menariknya, terdapat deskripsi paralel dari Marsden untuk beberapa hal penting, von Kessel menyatakan bahwa kanibalisme dianggap oleh orang Batak sebagai perbuatan hukum dan aplikasinya dibatasi untuk pelanggaran yang sangat sempit yakni pencurian, perzinaan, mata-mata, atau pengkhianatan. Garam, cabe merah, dan lemon harus diberikan oleh keluarga korban sebagai tanda bahwa mereka menerima putusan masyarakat dan tidak memikirkan balas dendam.
Ida Pfeiffer Laura mengunjungi Batak pada bulan Agustus 1852, dan meskipun dia tidak mengamati kanibalisme apapun, dia diberitahu bahwa: "Tahanan perang diikat pada sebuah pohon dan dipenggal sekaligus, tetapi darah secara hati-hati diawetkan untuk minuman, dan kadang-kadang dibuat menjadi semacam puding dengan nasi. Tubuh kemudian didistribusikan; telinga, hidung, dan telapak kaki adalah milik eksklusif raja, selain klaim atas sebagian lainnya. Telapak tangan, telapak kaki, daging kepala, jantung, serta hati, dibuat menjadi hidangan khas. Daging pada umumnya dipanggang serta dimakan dengan garam. Para perempuan tidak diizinkan untuk mengambil bagian dalam makan malam publik besar ".
Pada 1890, pemerintah kolonial Belanda melarang kanibalisme di wilayah kendali mereka. Rumor kanibalisme Batak bertahan hingga awal abad ke-20, dan nampaknya kemungkinan bahwa adat tersebut telah jarang dilakukan sejak tahun 1816. Hal ini dikarenakan besarnya pengaruh Islam dalam masyarakat Batak.
Samuel Munson dan Henry Lyman yang mati martir di Sisangkak (sekarang masuk Kecamatan Adiankoting) 28 Juli 1834. Dua misionaris utusan Gereja Amerika dibunuh Raja Panggalamei. Mayat mereka di pertontonkan di sebuah pekan di Lobupining, tidak jauh dari Sisangkak, sebagai tanda kemenangan. Konon, mayat kedua martir itu dimakan hingga tinggal kerangka.
Masa lalu mandailing hampir sama dengan pedalaman Toba. Meski tidak ada catatan tentang kanibalisme di Mandailing tidak berarti kanibalisme tidak pernah terjadi di Mandailing. Mungkin pernah terjadi, mungkin tidak, barangkali, siapa tahu pernah kejadian, jangan-jangan pernah terjadi. Tidak pasti! Kita mengangap mandailing di masa lalu bukan pelaku kanibal hingga fakta membuktikan sebaliknya.
Yang pasti adalah, sebelum islam masuk ke Mandailing melalui Batang Natal, pesisir barat Sumatera, nenek moyang mandailing memakan hampir apa saja yang bisa di telan. Lima generasi dari sekarang, orang mandailing masih memakan monyet, setidaknya menurut penuturan orang-orang tua. Nah jika dulu Mandailing juga pemakan manusia, kita tidak perlu malu dgn masa lalu kita, atau ikut-ikutan menggulai manusia.
sumber:http://mandailing-natal.blogspot.com/2011/02/batak-makan-orang-sejarah-batak-masa.html
Memakan daging manusia oleh manusia diistilahkan dengan kanibalisme. Kanibalisme banyak terjadi di beberapa peradaban manusia. Pada masa lalu di kepulauan Pasifik seperti Fiji, kanibalisme sering dilakukan penduduk setempat. Menurut novel sastrawan, China pernah mengalami kelaparan hebat
setelah perang yang berkepanjangan di masa Mao Tze Tung dan ketika itu hampir tidak ada yang bisa dimakan selain daging manusia. Sang ayah mewasiatkan, jika kelak dirinya mati lebih dahulu, maka anak isteri yang ditinngal boleh memakan dagingnya. Kanibalisme juga dialami Afrika, terjadi karena kekurangan makanan. Dalam perang sipil di Maluku, perilaku sadisme memakan daging musuh juga terjadi. Bahkan Sumanto memakan daging manusia untuk menambah kesaktiannya. Dalam pandangan inilah, kanibalisme memang benar-benar historis dalam budaya manusia.
Beda dengan Batak di masa lalu, memakan daging manusia dilakukan dalam ritual kepercayaan setempat. Tidak setiap orang boleh dijadikan gulai untuk dimakan. Yang sering dijadikan santapan adalah musuh, tawanan perang, orang yang berzina dan penjahat, orang tua yang sudah tidak berdaya (tidak bisa nyari nafkah). Memakan bagian tubuh tertentu dari lawan yang sakti saat itu dianggap akan menambah kesaktian yang memakannya. Seorang datu mengalahkan datu sakti yang lain akan lebih sakti jika ia memakan bagian tubuh penting seperti: tangan, hati, dan otaknya.
Tiga hal yang sangat penting dalam kepercayaan batak masa lalu: Tondi, Sahala, dan Begu. Semua orang memiliki Tondi dan begu, tapi hanya orang sakti yang mempunyai Sahala. Memakan daging musuh yang sakti dianggap menambah Sahala datu yang memakannya.
Ritual kanibalisme telah terdokumentasi dengan baik di kalangan orang Batak, yang bertujuan untuk memperkuat tondi pemakan itu. Secara khusus, darah, jantung, telapak tangan, dan telapak kaki dianggap sebagai kaya tondi.
Dalam memoir Marco Polo yang tinggal di pantai timur Sumatera dari bulan April sampai September 1292, ia menyebutkan pernah berjumpa dengan rakyat bukit yang ia sebut sebagai "pemakan manusia". Dari sumber-sumber sekunder, Marco Polo mencatat cerita tentang ritual kanibalisme di antara masyarakat "Battas". Walau Marco Polo hanya tinggal di wilayah pesisir, dan tidak pernah pergi langsung ke pedalaman untuk memverifikasi cerita tersebut, namun dia bisa menceritakan ritual tersebut.
Niccolò de 'Conti (1395-1469), seorang Venesia yang menghabiskan sebagian besar tahun 1421 di Sumatra, dalam perjalanan panjangnya untuk misi perdagangan di Asia Tenggara (1414-1439), mencatat kehidupan masyarakat. Dia menulis sebuah deskripsi singkat tentang penduduk Batak: "Dalam bagian pulau, disebut Batech kanibal hidup berperang terus-menerus kepada tetangga mereka ".
Thomas Stamford Raffles pada 1820 mempelajari Batak dan ritual mereka, serta undang-undang mengenai konsumsi daging manusia, menulis secara detail tentang pelanggaran yang dibenarkan. Raffles menyatakan bahwa: "Suatu hal yang biasa dimana orang-orang memakan orang tua mereka ketika terlalu tua untuk bekerja, dan untuk kejahatan tertentu penjahat akan dimakan hidup-hidup".. "daging dimakan mentah atau dipanggang, dengan kapur, garam dan sedikit nasi".
Para dokter Jerman dan ahli geografi Franz Wilhelm Junghuhn, mengunjungi tanah Batak pada tahun 1840-1841. Junghuhn mengatakan tentang ritual kanibalisme di antara orang Batak (yang ia sebut "Battaer"). Junghuhn menceritakan bagaimana setelah penerbangan berbahaya dan lapar, ia tiba di sebuah desa yang ramah. Makanan yang ditawarkan oleh tuan rumahnya adalah daging dari dua tahanan yang telah disembelih sehari sebelumnya. Namun hal ini terkadang untuk menakut-nakuti calon penjajah dan sesekali untuk mendapatkan pekerjaan sebagai tentara bayaran bagi suku-suku pesisir yang diganggu oleh bajak laut.
Oscar von Kessel mengunjungi Silindung di tahun 1840-an, dan pada tahun 1844 mungkin orang Eropa pertama yang mengamati ritual kanibalisme Batak di mana suatu pezina dihukum dan dimakan hidup. Menariknya, terdapat deskripsi paralel dari Marsden untuk beberapa hal penting, von Kessel menyatakan bahwa kanibalisme dianggap oleh orang Batak sebagai perbuatan hukum dan aplikasinya dibatasi untuk pelanggaran yang sangat sempit yakni pencurian, perzinaan, mata-mata, atau pengkhianatan. Garam, cabe merah, dan lemon harus diberikan oleh keluarga korban sebagai tanda bahwa mereka menerima putusan masyarakat dan tidak memikirkan balas dendam.
Ida Pfeiffer Laura mengunjungi Batak pada bulan Agustus 1852, dan meskipun dia tidak mengamati kanibalisme apapun, dia diberitahu bahwa: "Tahanan perang diikat pada sebuah pohon dan dipenggal sekaligus, tetapi darah secara hati-hati diawetkan untuk minuman, dan kadang-kadang dibuat menjadi semacam puding dengan nasi. Tubuh kemudian didistribusikan; telinga, hidung, dan telapak kaki adalah milik eksklusif raja, selain klaim atas sebagian lainnya. Telapak tangan, telapak kaki, daging kepala, jantung, serta hati, dibuat menjadi hidangan khas. Daging pada umumnya dipanggang serta dimakan dengan garam. Para perempuan tidak diizinkan untuk mengambil bagian dalam makan malam publik besar ".
Pada 1890, pemerintah kolonial Belanda melarang kanibalisme di wilayah kendali mereka. Rumor kanibalisme Batak bertahan hingga awal abad ke-20, dan nampaknya kemungkinan bahwa adat tersebut telah jarang dilakukan sejak tahun 1816. Hal ini dikarenakan besarnya pengaruh Islam dalam masyarakat Batak.
Samuel Munson dan Henry Lyman yang mati martir di Sisangkak (sekarang masuk Kecamatan Adiankoting) 28 Juli 1834. Dua misionaris utusan Gereja Amerika dibunuh Raja Panggalamei. Mayat mereka di pertontonkan di sebuah pekan di Lobupining, tidak jauh dari Sisangkak, sebagai tanda kemenangan. Konon, mayat kedua martir itu dimakan hingga tinggal kerangka.
Masa lalu mandailing hampir sama dengan pedalaman Toba. Meski tidak ada catatan tentang kanibalisme di Mandailing tidak berarti kanibalisme tidak pernah terjadi di Mandailing. Mungkin pernah terjadi, mungkin tidak, barangkali, siapa tahu pernah kejadian, jangan-jangan pernah terjadi. Tidak pasti! Kita mengangap mandailing di masa lalu bukan pelaku kanibal hingga fakta membuktikan sebaliknya.
Yang pasti adalah, sebelum islam masuk ke Mandailing melalui Batang Natal, pesisir barat Sumatera, nenek moyang mandailing memakan hampir apa saja yang bisa di telan. Lima generasi dari sekarang, orang mandailing masih memakan monyet, setidaknya menurut penuturan orang-orang tua. Nah jika dulu Mandailing juga pemakan manusia, kita tidak perlu malu dgn masa lalu kita, atau ikut-ikutan menggulai manusia.
sumber:http://mandailing-natal.blogspot.com/2011/02/batak-makan-orang-sejarah-batak-masa.html
Tidak ada komentar:
Posting Komentar