Banyak yang menyangkutkan bulan Suro pada sistem Kalender Jawa sebagai bulan yang mengerikan, banyak pantangan dan serba tabu. Menjadi lebih menyusahkan lagi ketika orang-orang yang tidak memahami kultur Jawa menambahi dengan komentar-komentar bikinan sendiri. Andai saja Sultan Agung masih hidup tentu dia sedih sekali mendengar karyanya disepelekan orang. Terus apakah bulan Suro itu?
Sultan Agung raja besar pada masa Mataram Islam yang ketika itu berdiri di kota Plered, selatan Kotagede, Yogyakarta, pada tanggal 8 Juli 1633 Masehi, menetapkan tanggal 1 Suro 1555 tahun Jawa yang sama dengan tanggal 1 Muharram 1043 Hijriyah, sebagai dimulainya perhitungan Kalender Jawa. Diduga angka tahun Jawa 1555 itu berasal dari tahun Saka pada sistem kalender Hindu yang pada tahun itu memang menunjuk tahun 1555 Saka. Eloknya hari dan tanggalnya disamakan dengan hari dan tahun Hijriah pada sistem Kalender Islam. Nama-nama bulan pada Tahun Jawa disesuaikan dan dibuat beda dengan nama-nama Tahun Hijriyah. Tentu saja disesuaikan dengan ucapan masyarakat Jawa. Urutannya menjadi seperti ini:1. Muharram (Tahun Hijriyah) = bulan Suro (Tahun Jawa),
2. bulan Shafar = Sapar,
3. bulan Rabi’ul Awal = Maulud,
4. bulan Rabi’ul Tsani = Bakda Maulud,
5. bulan Jumadil Ula = Jumadil Awal,
6. bulan Jumadil Tsaniyah = Jumadil Akhir,
7. bulan Rajab = Rejeb,
8. bulan Sya’ban = Ruwah,
9. bulan Ramadhan = Pasa,
10. bulan Syawwal = Sawal,
11. bulan Dzulqa’dah = Dulkaidah, dan
12. bulan Dzulhijjah = Besar.
Terus apa hubungannya Suro dengan bulan mengerikan, bulan tabu dan pantangan? Tidak bisa dipungkiri kata Suro merujuk pada kata Asyura yang berarti 10. Tanggal 10 Muharam atau Asyura harus dimaknai apa? Ritual 1 Suro telah dikenal masyarakat Jawa sejak masa pemerintahan Sultan Agung (1613-1645 Masehi). Saat itu masyarakat Jawa masih mengikuti sistem penanggalan Tahun Saka yang diwarisi dari tradisi Hindu. Sementara itu umat Islam pada masa Sultan Agung menggunakan sistem kalender Hijriah. Dua hal yang berbeda tapi disatukan. Karena itu ritual 1 Suro selalu dimaknai dengan melakukan ritual tirakatan, lek-lekan (tidak tidur semalam suntuk), dan tuguran (perenungan diri sambil berdoa). Bahkan sebagian orang memilih menyepi untuk bersemedi di tempat sakral. Semua itu menunjuk pada sikap prihatin dan sedih. Sikap ini untuk mengingat kejadian 10 Muharam ketika terjadi perang Karbala. Ini merujuk pada peristiwa pembantaian keji cucu Rasulullah Saw, yaitu Husein ibn Ali ibn Thalib ra, di mana ia disembelih oleh para pengikut Yazid ibn Muawiyyah (anak dari Muawiyyah sahabat Nabi). Kejadian ini oleh kultur Jawa disimbolkan dengan bubur Suro warna merah. Bubur Suro adalah jenang bubur berwarna dua. Satu merah tanda keberanian seperti keberanian Husein ibn Ali ibn Thalib ra tadi dan warna putih simbol kesucian dari Hasan Ibn Ali kakak dari Husein ibn Ali. Tidak hanya bubur merah-putih tapi juga tari Saman Aceh misalnya, adalah tari kesedihan, hampir sama dengan budaya “maktam” menepuk-nepuk dada dalam tradisi memperingati kesyahidan cucu Rasulullah, Husein ibn Ali. Bahkan, dalam budaya suku di Papua ada tari khas yang menggambarkan peperangan di padang Karbala. (Kompas 29 November 2011).
Apakah itu berarti Islam di Indonesia bernafaskan Syiah? Walahualam bishawab. Hanya Allah yang tahu, yang jelas bulan Suro dari awalnya tidak ada yang aneh-aneh!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar