Sabtu, 07 Januari 2012

KONSEP KEPEMIMPINAN DALAM JANGKUNG MANGKUNEGARA


Tentang Philosophi Nama Dapur
Oleh: Wawan Wilwatikta

Negara titi tentrem, nagari ingkang panjang punjung pasir wulir loh jinawi gemah ripah karta tur raharja. Negara yang aman tenteram, terkenal karena kewibawaannya, besar dan luas wilayahnya meliputi pegunungan sampai laut, hasil bumi yang melimpah, negara kaya dan rakyat sejahtera. Ungkapan tersebut seringkali kita mendengar dari sang dalang pada saat pementasan wayang kulit. Itulah gambaran keberhasilan kepemimpinan dari seorang raja yang membawa negara menuju kejayaan dan masyarakat yang adil sejahtera. Wujud kepemimpinan seorang pemimpin yang dinantikan bangsa ini sejak lama. 

Jangkung Mangkunegara merupakan dapur keris Luk 3 (tiga) yang mempunyai 8 (delapan) ricikan, yaitu: Kembang Kacang, Lambe Gajah, Jalen, Pijetan, Tikel Alis, Sraweyan, Dua Sogokan berjajar bertemu di ujung bilah, dan Greneng. Kata Jangkung berarti menuntun, melindungi, mengawasi dan menjaga dari kejauhan, sedangkan Mangkunegara dapat berasal dari kata Mangku dan Negara. Mangku yang diartikan menopang/menyangga sedangkan Negara dapat diartikan bumi, wilayah beserta segala yang hidup dan tumbuh di atasnya. Jangkung Mangkunegara mempunyai arti mengatur dan memerintah negara atau wilayah yang menjadi kekuasaannya. Berdasarkan nama tersebut, tersirat makna simbolik terkait dengan suatu ajaran kepemimpinan.


Kepemimpinan Dalam Budaya Jawa
Dalam konsep kepemimpinan Jawa, kekuasaan bukan diperuntukkan bagi seorang pemimpin, akan tetapi lebih menekankan pada dampak yang baik bagi rakyat dan negara. Sebuah kekuasaan dianggap berhasil apabila negara dalam keadaan tenteram, sejahtera, adil dan rakyat tenang dan puas melaksanakan perkerjaan sehari-hari. Hasil dari kepemimpinan seorang raja diperoleh tanpa tindakan paksa, seolah mengalir dengan sendirinya, atau seolah-olah tanpa usaha yang mencolok. Sehingga, dalam kondisi demikian kekuasaan seorang raja tidak perlu diperlihatkan. Jika tercapai ketenangan sedemikian rupa dalam suatu negara, maka kekuasaan dan kewibawaan seorang pemimpin/raja akan terlihat dengan sendirinya di mata rakyat.
Dalam paham kepemimpinan Jawa, justru penguasa yang baik harus mencegah tindakan kekerasan. Kehalusan dalam bersikap dan berperilaku, antara lain: halus dalam bertutur kata, halus dalam memberi perintah, bersikap sopan terhadap orang lain menunjukkan dirinya sebagai pemimpin yang beradab. Kepemimpinan secara halus menunjukkan bahwa dia dapat mengontrol dirinya secara sempurna dan dengan demikian mempunyai kekuatan batin. Sebaliknya, sikap kasar dinilai rendah, kurang berbudaya, kurang kontrol diri merupakan cermin kelemahan batin. Bersikap kasar dan emosional, justru akan memperlemah kedudukannya sebagai seorang pemimpin.
Bersikap halus bukan berarti tidak tegas, tetapi lebih menekankan kontrol diri terhadap sesuatu permasalahan. Pemimpin seharusnya bersikap tanuhita (mengayomi dan njangkungi), tidak keras hati memaksakan kehendaknya atau bersikap kasar untuk mempertahankan kewibawaannya. Hal demikian, tentunya menuntut suatu pemerintahan yang dijalankan dengan suatu sistem ketatanegaraan dan perundang-undangan yang baik dan kepribadian seorang pemimpin/raja yang penuh suri tauladan. Uraian di atas merupakan penjabaran arti Jangkung dalam sebuah konsep kepemimpinan Jawa.

Makna Dalam Ricikan Jangkung Mangkunegara
Ada 8 (delapan) ricikan pada dapur Jangkung Mangkunegara dengan ulasan makna sebagai berikut:
Kembang Kacang, merupakan simbol untuk selalu tumbuh berkembang. Seorang pemimpin hendaknya berorientasi ke depan dalam menjalankan tugasnya agar sesuatu yang menjadi tanggungjawabnya akan tumbuh berkembang. Suatu pertumbuhan yang terencana dengan baik. Kembang kacang juga melambangkan sikap optimistik dalam menjalankan kepemimpinan.
Lambe Gajah, merupakan simbol ucapan yang dapat dipercaya. Seorang raja/pemimpin harus teguh memegang janji yang telah diucapkan, sebagaimana sesanti Sabda Pandita Ratu Tan Kena Wola-Wali. Ucapan seorang raja adalah janji, sehingga harus dilaksanakan, tidak boleh dibatalkan atau diingkari. Esuk Dhele Sore Tempe (pagi hari Kedelai, sore hari sudah berubah menjadi Tempe) merupakan ungkapan yang harus dihindari. Ungkapan tersebut menunjukkan tabiat seseorang yang dengan mudahnya merubah sikap perkataanya sekehendak hati, berubah pendirian dalam waktu yang singkat (plin plan). Sikap yang demikian akan mendatangkan kesulitan bagi dirinya maupun orang lain. Sehingga setiap permasalahan hendaknya dipelajari dan dipertimbangkan secara matang dengan segala konsekuensinya, sebelum pengambilan keputusan.
Jalen, dari asal kata Jalu (taji ayam jago) merupakan simbol keberanian. Seorang pemimpin harus berani mengambil risiko setiap keputusan yang diambil. Meskipun tidak populer, asal bertujuan untuk kesejahteraan rakyat, tentunya keputusan terbaik harus diambil. Harus berani bersikap adil terhadap semua lapisan masyarakat, baik terhadap rakyat maupun pejabat, bahkan keluarga sendiri. Keberanian dalam membela kebenaran atau berpijak pada aturan, tanpa pandang bulu. Keyakinan dalam menjalankan kebenaran sesuai ajaran Sura Dira Jayaningrat Lebur Dening Pangastuti, yang berarti kejahatan dan kekerasan akan terkalahkan dengan kehalusan budi, dalam arti tidak harus suatu kekerasan dilawan dengan kekejaman. Dalam hal ini seorang pemimpin harus berani tanpa ragu dalam menjalankan fungsi kepemimpinannya, kapan dia harus memberikan toleransi dan kapan dia harus bertindak tegas.
Pijetan, melambangkan sikap berlapang hati dan sabar. Seorang pemimpin hendaknya mempunyai hati sedalam lautan dan seluas samudera. Pertanda seorang pemimpin yang mampu menerima segala aspirasi yang berkembang dimasyarakat dan sabar menerima setiap kritikan terhadap dirinya dan segala nasihat serta saran dari para bawahannya.
Tikel Alis, melambangkan berpenampilan yang baik, roman muka cerah yang menunjukkan keramah tamahan dan senyuman yang menyenangkan bagi orang lain. Menghadapi masalah bagaimanapun sulitnya, harus dihadapi dengan muka manis. Perasaan marah dan tidak suka, harus disembunyikan lewat senyum manis, sebaliknya kemarahan yang meledak-meledak merupakan tindakan yang kurang pantas. Tikel Alis juga melambangkan segala sikap tindakan selalu ada batas-batasnya.
Sogokan rangkap dan Ada-ada sampai ke ujung bilah, melambangkan keharusan bagi seorang pemimpin untuk selalu tekun menggali potensi diri, menuangkan dan mewujudkan gagasan, mengembangkan kreatifitas kearah yang positif. Hal tersebut dilakukan tanpa henti di tengah jalan, guna menuntaskan setiap tujuan.
Sraweyan, melambangkan kemampuan untuk menjaga keselarasan dan beradaptasi. Seorang pemimpin tidaklah dituntut untuk merubah tatanan yang sudah ada dan baik, tetapi justru menjaga agar keselarasan tidak terganggu. Sebagai seorang pemimpin sebaiknya mau belajar hidup ditengah-tengah macam struktur dan keadaan, entah baik atau buruk. Melalui sikap yang mau membaur (ajur-ajer) itu, akan membantu untuk mengetahui setiap permasalahan yang berkembang di masyarakat, sehingga dapat diciptakan keadaan adil dan makmur.
Greneng, merupakan simbol momong rasa atau kemampuan mengendalikan diri. Kemampuan ini merupakan inti kesaktian seorang raja. Pada jaman dahulu, olah rasa sering dicapai dengan cara bertapa atau bersemedi. Sebagaimana laku tapa atau semedi, dalam konteks pengertian modern, bertapa merupakan konsekuensi menjalankan ibadah dan ajaran agamanya secara baik dan benar. Keutamaan dalam laku tersebut yaitu pengendalian diri terhadap keduniawian (sepi ing pamrih) dan kesediaan untuk memenuhi kewajibannya secara bertanggung jawab (rame ing gawe). Seorang pemimpin atau raja akan kehilangan kasekten (kesaktian) jika mengikuti hawa nafsunya dan mengejar kepentingan pribadi/pamrih dan mulai malas bekarya. Pamrih akan melunturkan kekuasaanya, karena pusat pengendalian diri tidak terletak pada batinnya lagi, tetapi pribadinya lebih banyak dipengaruhi unsur-unsur negatif dari luar. Jika kondisi sudah demikian, sebenarnya seorang pemimpin/raja sudah mulai kehilangan kesaktiannya. Selain itu sering menyertakan Pudak Setegal sebagai lambang dari kokohnya kepemimpinan.

Tiga Konsep Kepemimpinan
Konsep kepemimpinan Jawa dapat dijabarkan dalam beberapa ajaran yang terkait dengan makna dalam setiap ricikan keris dapur Jangkung Mangkunegara.
Menurut ajaran Sastra Jendra Hayuningrat, sosok pemimpin yang ideal hendaknya memiliki kecerdasan intelektual (IQ), kecerdasan emosi (EQ) dan kecerdasan spiritual (SQ). Hal tersebut telah lama tersurat dalam ilmu Sastra Jendra Hayuningrat, yang antara lain memuat kriteria bagi seorang pemimpin:
1. Kawruh tan wonten malih, artinya selalu mengembangan diri dengan menuntut ilmu pengetahuan yang nyata (ilmiah),
2. Pangruwating barang sakalir, artinya selalu berusaha membebaskan diri dari segala nafsu angkara murka,
3. Ngelmu wewadining bumi kang sinengker hyang jagad pratingkah, artinya selalu mempelajari ilmu rahasia tentang alam semesta yang berasal dari Tuhan.

Handarbeni, Hangrungkebi, Mulat Sarira Hangrasa Wani, seorang pemimpin hendaknya mampu mengolah hati dengan cara mawas diri. Dalam kaitannya ini orang Jawa mengenal tiga (3) falsafah psikologis mawas diri, yaitu: sikap rumangsa handarbeni yang berarti merasa memiliki dan mencintai negara, Hangrungkebi, berani membela negara demi keadilan dan kebenaran, Mulat sarira hangrasa wani, berani instropeksi dan mengoreksi diri secara jujur dan obyektif, sehingga mau dan mampu merasakan apa yang dirasakan rakyatnya.

Adil, Berbudi, Wicaksana, dalam konteksi ini seorang raja/pemimpin tradisional harus memiliki 3 watak: adil (adil tan pilih sih), bermurah hati dan jujur (berbudi), bijaksana (wicaksana), ketiga syarat itu merupakan syarat yang sangat universal bagi seorang pemimpin. Pemimpin harus menegakkan wibawa dan kehormatan dengan sikap berbudi bawa leksana, ambeg adil paramarta ( berbudi luhur, mulia, adil serta penuh kasih sayang terhadap siapa saja).

Hamong, Hamot, Hamemangkat, Hamong, seorang pemimpin (raja) harus sanggup berperan sebagai pamong yaitu orang yang melayani bukan sebagai seorang yang selalu minta dilayani. Melayani berarti bertindak bukan sebagai penguasa, akan tetapi sebagai abdi rakyat, menuntut sikap menjauhi rasa kecewa dan menjauhi sifat mudah mencela. Hamot, berarti mampu menerima (amot/mewadahi) semua hal yang didengar atau disampaikan oleh orang lain. Mendengarkan keluhan dan aspirasi dari rakyat. Hamemangkat, menjaga derajat dan kedudukan sebagai seorang pemimpin. Sebagai seorang pemimpin/raja harus menjaga martabat pribadi dan negara dengan menjaga tingkah laku yang baik (moralitas) dan menjadi suri tauladan bagi rakyatnya.

Adigang, Adigung, Adiguna, Tiga larangan bagi seorang pemimpin, yaitu Adigang, Adigung, Adiguna. Adigang, berarti seorang pemimpin tidak selayaknya mengandalkan kekuasaannya untuk bertindak sewenang-wenang dan berlaku sombong. Adigung, berarti seorang pemimpin jangan mengandalkan kepandaiannya untuk membodohi dan membohongi rakyat. Adiguna, berarti seorang pemimpin jangan berani dan pintar berdiplomasi hanya untuk mengingkari janji atau kebenaran (berdalih). Sebaiknya pemimpin harus rereh, riris dan ngati-ati (sabar, teliti dan hati-hati) dalam menjalankan pemerintahan.

Kesimpulan
Secara umum, dapur Jangkung Mangkunegara mempunyai makna bahwa seorang pemimpin hendaknya memberikan perlindungan dan memelihara secara menyeluruh terhadap segala sesuatu dalam wilayah kekuasaannya dan menjalankan tugas secara bertanggungjawab. Budi pekerti dan laku susila (moral) yang harus menjadi teladan bagi masyarakat.

Simbolisasi dalam Jangkung Mangkunegara membentuk pola kepemimpinan yang dapat dijadikan inspirasi bagi setiap pemimpin dalam mengelola kekuasaan dan berinteraksi dengan masyarakat. Semakin kuat struktur pemerintahan dan sistem kepemimpinan, maka semakin tidak tampak kekuasaan seorang raja. Ia menjalankan dan mengelola negara dengan sistem tata negara dan perundang-undangan yang baik, sehingga fungsi-fungsi pemerintahan berjalan dengan semestinya. Keberhasilan kepemimpinan dari kekuasaan seorang raja terukur dari kesejahteraan bagi negara dan rakyatnya. Itulah antara lain cita-cita yang diusung dari suatu ajaran yang tersimbolkan dalam dapur keris Jangkung Mangkunegara. Raja yang baik hendaknya menjaga keseimbangan antara kekuasaan besar dengan kewajiban dan tanggungjawab yang besar pula.

Bacaan:
- Budiono Herusatoto, Wejangan Kepemimpinan dalam Serat Sastra Cetha, SKH Kedaulatan Rakyat, Lembar Adiluhung, Minggu 24 Februari 2008, Yogyakarta
- Djoko Dwiyanto, Kajian : Serat Pustoko Rojo Purwo, Pura Pustaka, Yogyakarta, 2006
- M.Damami,dkk. Kajian: Kanjeng Kyai Surya Raja ( Kitab Pusaka Kraton Ngayogyakarta Hadiningrat).Yayasan Kebudayaan Islam Indonesia, Yogyakarta,2002.
- Sri Sunan Pakubuwono IV, Serat Wulangreh, terjmh. Darusuprapta,Citra Jaya Murti, Surabaya, 1996
- Suyami, Konsep Kepemimpinan Jawa (Dalam Ajaran Sastra Cetha dan Astha Brata), Kepel Press, Yogyakarta. 2008.
- Wawan Susetya, Kepemimpinan Jawa, Narasi, Yogyakarta, 2007

-Saduran dari PAMOR semi Jurnal Tosanaji.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar