Cut Nyak Dhien. Ya! Siapa yang tidak mengenal sosok perempuan berjiwa ksatria ini. Cut Nyak Dhien lahir pada tahun 1848. Ayahnya, Teuku Nanta Setia, adalah seorang ulubalang, panglima perang di VI Mukim, bagian dari wilayah Sagi XXV. Leluhur dari pihak ayahnya, yaitu Panglima Nanta adalah keturunan Sultan Aceh yang pada permulaan abad ke-17 merupakan wakil Ratu Tajjul Alam di Sumatera Barat. Ibunya juga berasal dari keluarga ulubalang, yaitu keluarga bangsawan Lampagar.
Sebagaimana anak bangsawan lainnya di sana, Dhien kecil mendapatkan pendidikan agama secara intens. Dalam usia belasan, tahun 1862, Dhien menikah dengan Teuku Ibrahim Lamnga, putra dari Ulubalang LamNga XIII. Sejak awal Dhien muda sudah menyadari, menikah dengan seorang pejuang berarti ia harus siap kehilangan sang suami sewaktu-waktu.
Pada tanggal 22 Maret 1873, ayah dan suami Dhien pergi berjihad, berperang melawan Belanda. Pasukan mereka berhasil membunuh Jendral Kohler dalam pertempuran di Kutaraja, ibukota Aceh saat itu. Kebahagiaan memenuhi hati Dhien manakala ia melihat kedua pria utama dalam hidupnya pulang dengan selamat. Tetapi, pada 11 Desember 1873, sekitar tujuh ribu tentara Belanda kembali menyerang Aceh di bawah pimpinan Jendral van Switten. Sebagai panglima perang Teuku Nanta Setia dan menantunya, Teuku Ibrahim Lamnga memimpin pasukan dan turun ke medan perang. Kali ini, Belanda lebih siap. Mereka menggempur Kuraja habis-habisan sampai-sampai Sultan Acehpun terpaksa meninggalkan ibukota. Meskipun penguasa Aceh bersembunyi di hutan belantara, mereka tetap melawan Belanda. Mereka kini mengubah taktik dan melancarkan perang gerilya dari hutan. Dhien muda mengikuti ayah dan suaminya masuk hutan. Sejak itu, Dhien mengobarkan apa saja untuk perjuangan, termasuk perhiasan dan kehidupan nyaman layaknya seorang bangsawan.
Dalam peristiwa yang dikenal dengan nama Perang di Sea Glee Tarun, Nanta Setia dan Ibrahim Lamnga, bersama sebagian tentara Aceh, gugur akibat pengkhianatan Habib Abdurrahman. Sejak saat itu, Cut Nyak Dhien mengambil alih kepemimpinan ayah dan suaminya dalam perang gerilya. Komitmen Dhien dalam berjuang tidak setengah-setangah. Ia bahkan sempat bersumpah tidak akan menikah lagi kecuali dengan sesama pejuang yang membantunya melawan Belanda. Padahal, Dhien saat itu masih terbilang muda. Hingga suatu saat ia bertemu dengan pemimpin perang asal Meulaboh, Aceh Barat. Pria yang masih memiliki hubungan kekerabatan dengannya itu bernama Teuku Umar. Ketika Umar menyampaikan belasungkawa karena Dhien telah kehilangan ayah dan suami, Dhien menolak untuk berduka cita atas kematian dua orang terkasihnya. “Aku seharusnya bahagia karena mereka mencapai serajat paling mulia dan mati sebagai syuhada,” ujarnya. Mendengar ucapan setegar itu Umar terpesona. ia tak mampu menahan diri untuk tidak jatuh cinta pada Dhien. Ketika Dhien dan Umar menikah tak berapa lama setelah itu, keduanya menyatukan pasukan mereka dan bersama-sama melancarkan serangan melawan Belanda.
Di sela-sela perjuangan mereka, Dhien mengandung dan melahirkan seorang putri yang diberi nama Cut Gambang. Kelak setelah dewasa, Gambangpun mengikuti jejak kedua orang tuanya menjadi pejuang. Ia menikah dengan putra Teuku Cik Ditiro, pejuang yang disegani. Ketika Jendral van Heutz berkuasa dengan licik dia menyuap rakyat untuk menjadi mata-mata Belanda. aka pengkhianatanpun terjadi. Pada 11 Februari 1899, Teuku Umar gugur saat menyerang Meulaboh.
Teuku Leubeh, salah seorang kepercayaan Umar, berkhianat dan membocorkan rahasia kepada Belanda. Begitu mendengar kematian sang ayah, Cut Gambang menangis. Namun sang bunda malah menamparnya. “Sebagai wanita Aceh, kita tidak boleh meneteskan air mata untuk yang mati syahid,” ujar Dhien sambil memeluk putrinya. Kembali Cut Nyak Dhien seorang diri menjadi pemimpin pasukan yang mayoritas adalah pria. Dia dibantu oleh orang kepercayaanya, Pang Laot Ali dan Pang Karim.
Tahun 1901, didorong rasa iba melihat kondisi Dhien yang renta, rabun, dan sakit-sakitan, Pang Laot Ali terpaksa membocorkan persembunyian mereka dan berharap Belanda akan merawat Dhien. Berkat informasi Pang Lao Ali, Belanda menyerang pasukan Dhien dengan mendadak. Dengan semangat baja Dhien terus mengayunkan rencong, namun tenaga dan daya penglihatannya yang kian menurun membuat Dhien tertangkap. Ketika tertangkap wanita tua renta yang nyaris buta ini mengangkat kedua belah tangganya dengan sikap menantang. Dari mulutnya terucap kalimat,”Ya Allah ya Tuhan, inikah nasib perjuanganku? Di dalam bulan puasa aku diserahkan kepada kafir.” Meski batinnya getir karena dikhianati sahabat terpercayanya, Dhien lega karean Cut Gambang berhasil lolos dan terus mengobarkan perlawanan.
Belanda kemudian mengasingkan Dhien ke Sumedang, dimana tak seorang pun mengenalnya sebagai pejuang. Sebagai tahanan politik, seharusnya Dhien berada di dalam tahanan. Tetapi Bupati Sumedang kala itu, Pangeran Aria Suriaatmaja yang bergelar Pangeran Mekkah, melihatnya sebagai sosok mulia yang paham agama. Karena itulah, Dhien ditempatkan di rumah seorang ulama bernama Haji Ilyas di belakang kaum (Masjid Besar) Sumedang. Haji Ilyas dan Dhien sama sekali tidak memahami bahsa mereka masing-masing, kecuali satu, bahasa agama. Ilyas menyadari Dhien adalah ahli agama yang fasih melantunkan al-Quran. Itulah sebabnya Dhien dijuluki Ibu Perbu (Ratu) dan diperbolehkan mengajar Agama Islam. Banyak penduduk yang minta belajar agama, khususnya menghapal al-Quran, darinya. Sebagian dari murid-murid Dhien memberinya makanan dan pakaian, mengingat Dhien tidak pernah mau menerima apa pun dari Belanda. Tidak ada yang tahu siapa sebetulnya Ibu Perbu hingga ia wafat pada 8 November 1908, dan dikebumikan di Gunung Puyuh. Baru pada tahun 1960, lewat pemberitahuan Belanda tentang Surat Keputusan No.23 (Kolonial Verslag 1907:12), diketahui keberadaan Dhien. Presiden Soekarno memberinya gelar Pahlawan Nasional, pada tanggal 2 Mei 1964, melalui Surat Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 106.
Apresiasi mengenai perjuangan Cut Nyak Dien diinterpretasi dalam film berjudul Tjoet Nja' Dhien pada tahun 1988 yang disutradarai oleh Eros Djarot dan dibintangi Christine Hakim sebagai Tjoet Nja' Dhien, Piet Burnama sebagai Pang Laot, Rudy Wowor sebagai Snouck Hurgronje dan Slamet Rahardjo sebagai Teuku Umar. Film ini memenangi Piala Citra sebagai film terbaik, dan merupakan film Indonesia pertama yang ditayangkan di Festival Film Cannes (tahun 1989).
Tidak hanya itu, untuk mengenang jasa-jasa beliau banyak cara yang ditempuh. Antara lain:
- Sebuah kapal perang TNI-AL diberi nama KRI Cut Nyak Dhien.
- Mata uang rupiah yang bernilai sebesar Rp. 10.000,00 yang dikeluarkan tahun 1998 memuat gambar Cut Nyak Dhien dengan deskripsi Tjoet Njak Dhien.
- Namanya diabadikan di berbagai kota Indonesia sebagai nama jalan.
- Masjid Aceh kecil didirikan di dekat makamnya untuk mengenangnya.
Sangat besar perjuangan Cut Nyak Dhien untuk negara kita tercinta ini. Semoga kita, khusunya kaum perempuan bisa mencontoh apa yang dilakukan Cut Nyak Dhien dalam memperjuangkan bangsa ini. Amin…
saya punya uang kuno Rp 10.000 Tjut Njak Dhien
BalasHapus